Sentralisasi Kekuasaan Menguat, BRIN Sebut Otonomi Daerah Kian Terpinggirkan

Jakarta, PONTAS.ID — Dua dekade setelah reformasi menjanjikan otonomi daerah, arah politik Indonesia kembali bergerak ke pusat. Kewenangan daerah yang dulu dijanjikan luas kini dilucuti, digantikan kontrol ketat pemerintah pusat melalui regulasi baru.

Peneliti utama politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Siti Zuhro berbicara dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertema “Hubungan Pusat dan Daerah (Optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah), di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/9/2025) menyebut tren ini sebagai pelemahan serius desentralisasi.

Ia menuding Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai bukti bagaimana kewenangan strategis daerah, mulai dari pengelolaan sumber daya alam hingga tata kelola ekonomi, ditarik kembali ke Jakarta.

“Selera rezim menentukan nasib otonomi. Ketika pemerintah ingin seragam, daerah kehilangan ruang berkreasi. Itu berbahaya bagi demokrasi,” kata dia..

Warisan Reformasi yang Terancam

Reformasi 1998 melahirkan pasal baru dalam konstitusi yang memberi otonomi luas bagi daerah, kecuali untuk enam urusan absolut yang diatur pemerintah pusat. Namun, menurut Zuhro, janji itu tidak pernah sepenuhnya ditepati.

Selama dua dekade terakhir, praktik pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah nyaris tidak berjalan. Indikatornya jelas: lebih dari 430 kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Kalau pengawasan efektif, tidak mungkin angka OTT kepala daerah setinggi itu. Kelemahan mendasar negara ini ada di pengawasan,” ujarnya.

Polarisasi Baru: Pusat vs Daerah

Relasi pusat-daerah dalam sejarah Indonesia memang selalu bergejolak. Dari demokrasi terpimpin di era Sukarno, sentralisasi Orde Baru di bawah Soeharto, hingga euforia otonomi pascareformasi. Kini, arah kembali berbalik: sentralisasi gaya baru.

Zuhro memperingatkan pola seragam ala pusat berisiko mengabaikan keragaman. Kabupaten maju, sedang, dan tertinggal dipaksa mengikuti resep yang sama.

“NKRI ini unik dengan 415 kabupaten dan puluhan provinsi. Kebijakan seragam justru kontraproduktif. Daerah maju tidak bisa diperlakukan sama dengan daerah 3T,” katanya.

Prabowo Meneruskan Jejak Jokowi

Menurut Zuhro, Presiden Joko Widodo sudah menyiapkan “karpet merah” bagi sentralisasi. Prabowo Subianto, yang baru saja dilantik, diperkirakan akan melanjutkan pola tersebut.

“Kewenangan daerah ditarik, kabinet diperbesar, anggaran daerah dipangkas. Itu bukan kebetulan. Itu pilihan politik,” tegasnya.

Zuhro menekankan, tanpa pemetaan menyeluruh terhadap daerah, kebijakan pusat berisiko salah sasaran. Ia mencontohkan Jakarta yang tetap mendapat alokasi jumbo, sementara daerah perbatasan tertinggal.

“Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah baru. Tanpa koreksi, otonomi daerah hanya akan jadi jargon kosong,” ujarnya.

Previous articleJadi Prioritas Tahun 2025, Baleg Harap RUU Kawasan Industri dan Perindustrian dapat Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional