Jakarta, PONTAS.ID – Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S Depari mendatangi Mabes Polri, guna membahas keselamatan serta mencegah kekerasan terhadap wartawan saat meliput aksi unjuk rasa.
Kedatangan Atal beserta rombongan diterima langsung Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono, di ruang kerjanya, pada Senin (12/10/2020).
Dalam pertemuan itu, Argo mengaku Mabes Polri sebenarnya selalu menginstruksikan hal ini kepada aparat di lapangan, “Artinya Polri juga wajib melindungi wartawan yang bekerja saat meliput aksi demonstrasi di lapangan,” kata Argo.
Menurut Argo, pihaknya juga meminta wartawan di lapangan dilengkapi dengan tanda pengenal dan kartu identitas yang jelas.
“Karenanya ke depan kami akan membuat rompi khusus bagi wartawan di lapangan, agar dapat dikenali petugas. Sehingga tidak terjadi kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan,” ujar Argo.
Usai pertemuan, Atal mengatakan bahwa pada dasarnya Polri juga sepakat bahwa kinerja wartawan di lapangan adalah dilindungi Undang-undang serta dijamin tidak mengalami kekerasan.
Namun katanya di saat atau momen tertentu yang rusuh saat aksi demonstrasi, keberadaan wartawan sangat menentukan untuk terhindar dari lapangan.
“Dalam teknis peliputan di lapangan saat aksi demonstrasi, wartawan idealnya berada di belakang aparat, agar terhindar dari kekerasan,” ucap Atal, saat dikonfirmasi PONTAS.id, melalui aplikasi perpesanan WhatsApp malam tadi.
Atau paling tidak, kata Atal, posisi wartawan adalah di samping antara aparat dan pendemo yang berhadapan. “Jadi cerdaslah mengambil posisi. Jangan memaksakan diri menerobos ke depan, karena itu berpotensi mendapat kekerasan,” ujar Atal.
Terkait rencana Polri yang akan menyediakan rompi khusus bagi wartawan yang meliput di lapangan, Atal sangat mendukungnya. “Karena dengan begitu, aparat mengetahui bahwa seseorang itu adalah wartawan, dan bukan ancaman bagi mereka. Sehingga wartawan terhindar dari kekerasan,” tandasnya.
Ancaman Pidana
Sebelumnya, Atal juga meminta Kapolri Jenderal Idham Azis mengusut tuntas dan melakukan langkah hukum terhadap oknum polisi yang menghambat tugas pers dengan merusak, merampas, dan menganiaya wartawan yang meliput unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja.
“Oknum petugas yang sengaja menghambat kemerdekaan pers secara terang-terangan harus diberi sanksi,” katanya.
Menurutnya, wartawan dalam menjalankan tugas dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU Pers berlaku secara nasional untuk seluruh warga negara Indonesia, bukan hanya pers sendiri.
“Semua pihak, termasuk petugas Kepolisian, juga harus menghormati ketentuan-ketentuan dalam UU Pers,” tegasnya.
Dalam Peraturan Dewan Pers telah diatur bahwa wartawan yang sedang melaksanakan tugas, alat-alat kerjanya tidak boleh dirusak atau dirampas. Wartawan tersebut juga tidak boleh dianiaya, apalagi dibunuh.
Jika wartawan yang meliput aksi protes UU Cipta Kerja kata Atal sudah menunjukkan identitas dirinya dan melakukan tugas sesuai kode etik jurnalistik, seharusnya mereka dijamin dan dilindungi secara hukum.
“Tindakan oknum polisi yang merusak dan merampas alat kerja wartawan, termasuk penganiayaan dan intimidasi ketika meliput demonstrasi UU Cipta Kerja merupakan suatu pelanggaran berat terhadap kemerdekaan pers,” tegasnya.
Penulis: Deddy Muttaqin
Editor: Pahala Simanjuntak