Jakarta, PONTAS.ID – DPR mendapat sejumlah kritikan karena keputusannya untuk melanjutkan proses omnibus law RUU Cipta Kerja, RKUHP, hingga RUU kontroversial lainnya di tengah pandemi corona. Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan pihaknya tidak langsung membahas RUU tersebut.
Supratman mengatakan DPR akan terlebih dahulu melakukan uji publik dengan para pihak terkait. Sedangkan, pembahasannya sendiri masih menunggu rapat kerja dengan pemerintah.
“Langkah awal adalah menyusun jadwal pembahasan. Setelah itu kita akan uji publik. Dengan semua pemangku kepentingan. Karena sudah banyak pihak yang mengajukan permintaan audiensi kepada baleg,” kata Supratman di Jakarta, Jumat (3/4/2020).
“Di luar itu baleg akan mendengar pihak-pihak yang dianggap bisa memberi masukan termasuk para pakar dan perguruan tinggi. Pembahasannya sendiri masih akan menunggu raker dengan pemerintah. Begitu pula menunggu dim dari fraksi-fraksi. Pembahasannya masih lama,” lanjutnya.
Dia mengatakan sejauh ini sudah banyak pihak yang meminta untuk melakukan audiensi terkait omnibus law, terutama serikat pekerja. Pihaknya akan menyusun mekanisme uji publik Senin mendatang.
“Yang kita mau lakukan sekarang dalam masa sidang ini adalah uji publik. Karena memang sudah banyak pihak yang minta untuk audiensi ke baleg. Justru yang paling banyak meminta audiensi adalah serikat pekerja (buruh). Kami di baleg sudah menjanjikan akan bertemu dengan teman serikat pekerja. Senin yang akan datang kami nyusun jadwal dan mekanisme uji publiknya,” tuturnya.
Sebelumnya langkah DPR itu dikecam banyak pihak, termasuk Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang. Pusako menilai DPR dan pemerintah hendak menggunting dalam lipatan atau memancing di air keruh, mencuri kesempatan dalam kesempitan. Ketika seluruh publik diminta bekerja dari rumah (work from home), DPR dan pemerintah bertindak sebaliknya.
“DPR terlihat terburu-buru membahas dan hendak mengesahkan tiga paket Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law Cipta Kerja, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Pemasyarakatan (Pas). Padahal sebelumnya pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan paket peraturan dan kebijakan yang menghendaki seluruh institusi dan anggaran negara difokuskan menghadapi ancaman wabah COVID-19,” papar mahasiswa program doktor FH UI itu.
“Jika memang virus ini serius ditangani dan dibentuk gugus tugas khusus untuk menanggulangi ini, kenapa DPR dan wakil pemerintah dibiarkan tetap bersidang?” sambung Charles.
Kritikan juga datang dari Kepala Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Anang Zubaidy. Dia menilai DPR menunjukkan sikap tidak berempati dengan adanya pandemi ini.
“Pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU revisi UU Minerba di tengah wabah pandemic COVID-19 oleh DPR menunjukkan sikap nir-empatik dan tidak mendukung upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan perluasan penyebaran COVID-19 melalui pembatasan sosial berskala besar,” jelasnya.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Pahala Simanjuntak