Jakarta, PONTAS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Menpora Imam Nahrawi menjadi tersangka kasus dugaan suap terkait dana hibah KONI 2018 dari Kemenpora yang dianggarkan sebesar Rp 17,9 miliar.
DPR, sebagai pihak yang terlibat dalam pembahasan APBN, mengatakan tak menaruh curiga dengan pengajuan anggaran Kemenpora di tahun tersebut karena mengaku tak berwenang membahas rinci penyusunan anggaran kementerian/lembaga.
Wakil Ketua Komisi X dari F-PKS, Abdul Fikri, mengatakan DPR tidak memiliki kewenangan membahas anggaran hingga satuan tiga sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014. Dia menjelaskan pembahasan anggaran di DPR bersifat umum.
“Kalau di DPR kan rinciannya tidak membahas satuan tiga. Artinya tidak membahas sampai detail, hanya program dan kegiatan per deputi. Jadi global saja. Baru kemudian ada tambahan atau penjelasan lisan lalu ada pertanyaan, maka baru dijelaskan. Saya agak lupa ini (KONI) masuk deputi apa, tapi kalau tidak salah Pembinaan Prestasi dan Olahraga (Deputi Peningkatan Prestasi Olahraga),” kata Fikri kepada wartawan, Kamis (19/9/2019).
Selanjutnya, laporan pertanggungjawaban APBN dari pemerintah pun disampaikan secara umum. Namun, kata Fikri, Kemenpora memang memiliki catatan tersendiri di Komisi X DPR. Fikri mengatakan Kemenpora merupakan salah satu mitra kerja Komisi X DPR yang pernah mendapatkan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau ‘disclaimer’ dari BPK.
“Kita tahu biasanya kalau ada masalah. Kalau secara umum, laporan juga kan global. Kami lihat daya serap. Misal sampai akhir tahun apakah sampai 90 persen atau tidak. Kalau kurang kan berarti perencanaannya jelek. Kemudian juga opini pemeriksaan BPK. Saya agak lupa (tahun berapa), tapi Kemenpora termasuk yang pernah disclaimer,” ujarnya.
“Mitra kami hampir semuanya WTP, bagus-bagus. Nah, Kemenpora pernah disclaimer kan berarti jelek. Saya lupa tahunnya. Tapi kan berarti akuntabilitas dan tata kelola Kemenpora jelek. Mitra kami yang termasuk ada segi catatan memang Kemenpora. Dulu Bekraf juga pernah disclaimer, tapi sekarang sudah WTP,” imbuh Fikri.
Fikri mengatakan baru mengetahui ada persoalan dalam APBN Kemenpora 2018 ketika BPK memberikan catatan bahwa ada pos anggaran di kementerian itu yang tidak bisa dicairkan di tahun 2019. Alasannya, Kemenpora belum memberikan laporan pertanggungjawaban yang lengkap.
“Ini kan 2018 ya, saat 2019 ada dana yang oleh BPK tidak boleh dicairkan atau diblokir. Ada dilaporkan. Jadi kita tahunya sekarang ada diblokir, karena laporan pertanggungjawabannya belum lengkap. Jadi kalau laporan pertanggungjawaban tahun lalu belum lengkap, maka tahun anggaran selanjutnya tidak boleh ada pencairan. Itu catatan dari BPK. Jadi tahun 2019 dana-dana yang laporannya itu nggak jelas, maka tidak bisa dicairkan. Nah kalau sampai September atau Oktober itu (tidak lengkap), maka anggaran tidak bisa diserap,” tutur Fikri.
Ia pun menyatakan selama ini Komisi X DPR tidak pernah menanyakan persoalan APBN Kemenpora di 2018 itu kepada Imam. Dalam rapat-rapat selanjutnya bersama Komisi X DPR, Fikri menyatakan pembahasan lebih fokus pada RAPBN 2020.
“Penjelasannya ya begitu saja (laporan belum lengkap). Kemarin itu kan bahasan fokus anggaran 2020, 2019 sekilas saja. Cuma ada disampaikan di 2020 ini ada dana tidak terserap, itu disampaikan dan mengajukan pergeseran. Tapi itu tidak mesti diajukan ke DPR,” kata dia.
Diberitakan, Menpora Imam Nahrawi ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait dana hibah KONI dari Kemenpora. KPK menyebut pengajuan dana oleh KONI itu diduga tidak didasarkan pada kondisi sebenarnya.
“Dana hibah dari Kemenpora untuk KONI yang dialokasikan adalah sebesar Rp 17,9 miliar. Dalam perkara tersebut, diduga KONI pada tahap awal mengajukan proposal kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk mendapatkan dana hibah tersebut. Pengajuan dan penyaluran dana hibah tersebut diduga sebagai akal-akalan dan tidak didasari kondisi yang sebenarnya,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2019).
KPK menduga telah terjadi kesepakatan antara Kemenpora dengan KONI sebelum proposal diajukan. Diduga ada pengalokasian fee sebesar 19,13% dari total dana hibah Rp 17,9 miliar yaitu sejumlah Rp 3,4 miliar.
“Pada proses persidangan telah muncul dugaan penerimaan oleh pihak lain di Kemenpora atau pihak lain terkait dengan penggunaan anggaran Kemenpora Tahun Anggaran 2014-2018. Penerimaan tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadinya melalui asisten pribadinya,” ujar Alexander.
Penulis: Luki Herdian
Editor: Hendrik JS