Jakarta, PONTAS.ID – Saat ini, tren dunia sedang mengarah ke mobil listrik (molis). Dan, Indonesia pun seakan tak mau ketinggalan soal mobil yang diprediksi merajai industri otomotif ke depan tersebut.
Mobil listrik saat ini tengah menunggu terbitnya peraturan presiden (Perpres) yang tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jika aturan ini sudah terbit, baru akan disiapkan aturan teknis lainnya untuk mendukung infrastruktur dan ekosistem mobil listrik.
Namun, diantara gembar-gembor program mobil listrik, terbersit pertanyaan tentang nasib pengembangan biodiesel seperti B20 dan B30. Pasalnya, sama seperti mobil listrik, kebijakan biodiesel yang lebih dulu hadir juga ditujukan untuk menekan impor BBM dan menyelamatkan devisa negara. Lantas, bagaimana nasibnya?
Terkait hal itu, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, menegaskan bahwa program B20 itu akan tetap jalan. Pasalnya, pembangkit listrik Tanah Air juga akan memanfaatkan B20 sebagai bahan bakarnya.
“Kebijakan B20 dan mobil listrik tidak akan menggeser satu sama lain,” kata Jonan, di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
“Lagi pula, tujuan dari pemberlakuan mobil listrik maupun B20 adalah sama-sama untuk mengurangi emisi dan impor BBM. Keduanya, saya yakin bisa mewujudkan tujuan tersebut, mengurangi defisit perdagangan energi,” sambung Jonan.
Namun, tak sependapat dengan Jonan, Ekonom Senior Indef Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, justru meragukan program B20 dan B30 tersebut bisa menjadi solusi defisit perdagangan energi, khususnya impor minyak.
“Apakah biofuel jadi solusi? Tampaknya tidak,” kata Faisal, kepada awak media di Jakarta, Senin (29/7/2019) lalu.
Menurutnya, jika dilihat lebih jauh program Pemerintah tersebut dapat mengurangi impor solar sekitar 20-30 persen jika program itu mampu terlaksana 100 persen.
Dan, kata Faisal, implementasi program itupun bukan tanpa tantangan. Karena, jika CPO lebih dominan digunakan untuk bahan baku biofuel, maka tentu saja ekspor CPO akan menurun.
“Namun, ekspor CPO tentu saja juga turun, sehingga efek netonya tak sebesar yang dikatakan Pemerintah,” tandasnya.
Molis Tak Ganggu Pasar B20 dan B30
Terpisah, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan, mengatakan kehadiran mobil listrik tak akan mengganggu pasar B20 dan B30 yang tengah berkembang di Indonesia.
“Tidak masalah, karena itu (mobil listrik) takes time,” kata Paulus, sebagaimana dikutip dari cnbcindonesia.com.
Paulus pun memprediksikan B20 dan B30 masih lebih tinggi permintaannya hingga 10 tahun mendatang, sementara mobil listrik yang Perpresnya masih tertahan juga memerlukan beberapa aturan teknis lainnya agar berjalan efektif.
Manfaat Kebijakan Mandatori Biodiesel
Kemudian, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM, Muhammad Rizwi Jinalisaf Hisjam, mengatakan, kebijakan mandatori biodiesel yang telah dicanangkan Pemerintah sejak Agustus 2015 sangat bermanfaat.
Kata dia, kebijakan tersebut telah berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 13,6 juta ton CO2e, meningkatkan demand terhadap CPO, penggunaan biodiesesl dari sawit sebesar 9,12 juta KL, pajak yang dibayarkan kepada negara Rp 2,47 trilliun, dan penghematan devisa akibat tidak perluimporsolar hingga Rp 51,5 trilliun.
Rizwi juga menyebut, implementasi B20 justru memberikan manfaat dari sisi performa kendaraan.
“Manfaat dari B20 secara bahan bakar performanya lebih bagus. Secara kelemahan, nilai kalomya dari BBN ini lebih rendah dari BBM, tapi secara performa bahan bakar lebih bagus. Secara umum, benefltnya lebih banyak,” kata Rizwi.
Setelah B20, lanjut Rizwi, Pemerintah juga serius mengembangkan B30, di mana pemerintah telah meluncurkan road test B30 dengan memberangkatkan tiga unit truk dan delapan unit kendaraan penumpang berbahan bakar B30 yang masing-masing akan menempuh jarak 40 ribu dan 50 ribu kilometer (km). Hal ini sebagai bagian promosi ke masyarakat bahwa B30 memiliki performa yang baik dan ramah lingkungan.