Jakarta, PONTAS.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan Mahkamah Agung (MA) tak perlu menunggu putusan uji materi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) untuk menangani gugatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Norma UU Pemilu yang diuji di MK tak ada kaitannya dengan norma yang diuji di MA.
“Norma PKPU yang diuji di MA itu tidak ada kaitannya dengan yang diuji oleh MK,” ungkap Juru Bicara MK Fajar Laksono saat dihubungi, Rabu (5/9/2018).
Karena itu, kata Fajar, tidak ada alasan bagi MA untuk menunda uji materi PKPU dengan dalilnya. Di mana dalil PKPU yang digugat ke MA terkait dengan calon legislatif mantan narapidana korupsi, narkoba, dan pelecehan seksual terhadap anak.
Ia menuturkan, MK memang sedang menguji UU Pemilu. Tapi, norma yang diuji di MK terkait dengan masa jabatan wakil presiden, dana kampanye, dan citra diri. Semua itu ia sebut tidak ada hubungan atau kaitannya dengan norma PKPU yang sedang diuji di MA.
Landasan hukum akan hal itu ia sebut ada di dalam putusan MK No. 93 tahun 2017. Di mana yang diuji oleh MK adalah Pasal 55 UU MK. Menurut putusan itu, MA wajib menunda pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU sepanjang norma yang diuji ada kaitannya dengan yang diuji di MK.
“Jadi disitu disinggung sepanjang norma itu berkaitan. Kalau itu tak berkaitan apa yang ditunggu. Harus segera memeriksa dan boleh memutus. Tidak boleh menunda, karena normanya tidak berkaitan,” kata dia.
Sebelumnya, Mahkamah Agung masih menghentikan sementara uji materi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan. PKPU tersebut mengatur larangan mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif.
Sejumlah mantan koruptor yang ingin menjadi caleg menggugat PKPU tersebut dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam UU Pemilu tidak ada larangan mantan koruptor menjadi calon wakil rakyat.
Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi mengatakan, proses uji materi masih dihentikan sementara karena uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi juga belum selesai.
“Jadi perkara yang diajukan di Mahkamah Agung harus selesai di Mahkamah Konstitusi,” ujar Suhadi saat dihubungi.
Ada dua uji materi UU Pemilu yang telah didaftarkan di MK, yakni terkait ambang batas pencalonan presiden dan periode masa jabatan presiden-wapres.
Suhadi menegaskan, MA tetap harus menunggu proses uji materi di MK selesai, meskipun materi perkaranya tidak berkaitan dengan uji yang tengah berlangsung di MA.
Sebab, PKPU yang tengah digugat di MA merupakan turunan dari UU Pemilu. Jadi, menurut Suhadi, seharusnya MK yang segera memutuskan gugatan tersebut agar MA bisa memutuskan.
“Seharusnya yang didesak itu Mahkamah Konstitusi, karena lokomotifnya. Lokomotifnya di sana (MK) setelah itu kalau di sana sudah putus semua, maka proses uji materi PKPU akan sendiri berjalan,” kata Suhadi.
MA, lanjut Suhadi, merujuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Dalam Pasal 53 UU tersebut, dijelaskan MK harus memberitahukan permohonan uji materi yang masuk ke MK, kepada MA. Pemberitahuan ini dilakukan dalam waktu tujuh hari setelah perkara uji materi didaftarkan ke MK.
Selain itu di Pasal 55 UU juga mengatur bahwa uji materi terhadap aturan perundangan yang ada di MA wajib dihentikan sementara manakala ada proses uji materi terhadap undang-undang yang ada di atasnya. KPU dan Bawaslu berbeda pandangan soal bakal caleg eks koruptor.
Bawaslu mengacu pada UU Pemilu yang tidak melarang mantan koruptor untuk mendaftar sebagai caleg. Bawaslu kemudian mengabulkan gugatan para caleg eks koruptor yang dinyatakan tak memenuhi syarat oleh KPU.
KPU berpegang pada PKPU No 20 tahun 2018 yang memuat larangan mantan koruptor menjadi calon wakil rakyat. Pemerintah kemudian mempertemukan KPU, Bawaslu dan DKPP membahas polemik tersebut.