Jakarta, PONTAS. ID – Komisi III DPR sebagai mitra Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendukung rencana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor), yang pertama kali digagas oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Namun, Komisi yang membidangi masalah hukum ini meminta Polri bersabar menunggu sikap maupun keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi terhadap rencana yang menghabiskan negara sebesar Rp. 2,6 trilyun ini.
Pasalnya, pada Oktober lalu, Presiden Jokowi menolak untuk membahas pembentukan Densus Tipikor Polri ini, karena berbagai kalangan menilai keberadaanya untuk melemahkan bahkan bisa sampai membubarkan KPK. Sebab itu, Presiden ketika itu meminta Kapolri Tito Karnavian mengkaji kembali rencana pembentukan Densus Tipikor ini.
“Secara prinsip Komisi III mendukung setiap kebijakan mitra kerja untuk melakukan penguatan kelembagaan dan kinerjanya termasuk pembentukan Densus Tipikor. Tapi ternyata Political Will dari Presiden terkait dengan road maps pemberantasan korupsi oleh Polri melalui pembentukan Densus Tipikor belum disetujui. Kita tunggu apakah Presiden berubah sikap terkait hal itu,” kata Anggota Komisi III DPR, Jakarta, Rabu, (3/1/18). ‎
Kapolri Tito Karnavian, dalam laporan akhir tahun kinerja institusi yang pimpinannya, di Mabes Polri, Jumat (29/12/2017), menyebut kemungkinan nasib Densus Tipokor akan ditentukan setelah urusan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket di DPR terkait KPK selesai dibahas. Padahal, menurutnya Densus Tipikor ini bukan untuk melemahkan lembaga antirasuah ini.
Selain itu, momen pembentukan Densus Tipikor ini bersamaan waktunya dengan kegiatan Pansus Hak Angket KPK menimbulkan omongan-omongan miring tentang Polri. Jika waktu untuk melahirkan Densus sudah tepat, Tito menyebut tak perlu lagi membahas dengan Presiden Jokowi, melainkan cukup berkoordinasi dengan MenPAN-RB Asman Abnur dan Menkeu Sri Mulyani.
Apabila Densus Tipikor ini terbentuk nantinya, maka memiliki kewenangan yang sama dengan Kejaksaan Agung dan KPK, yakni penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Tidak hanya itu, Densus juga dapat melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dengan penyadapan.
Didik yang juga Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR ini mengatakan, ‎dalam beberapa waktu yang lalu, sebetulnya wacana pembentukan Densus Tipikor oleh Polri sudah disampaikan dan dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi III.‎
Lebih lanjut dia menjelaskan, prinsip dasar penegakan hukum termasuk pemberantasan korupsi yakni tidak tebang pilih, tidak pandang bulu, transparan, independen, akuntable dan profesional, maka bisa dipastikan mempercepat efektifitas pemberantasan korupsi.
Demikian juga apabila koordinasi yang baik dan utuh serta bisa dijalankan oleh seluruh aparat penegak hukum termasuk Jaksa dan KPK, tentu akan semakin kokoh dan terstruktur keseimbangan fokus pemberantasan korupsi.
“Jadi bukan hanya penindakan tapi pencegahan untuk mengurangi potensi lost keuangan negara dan membangun budaya anti korupsi akan lebih efektif untuk menahan laju korupsi,” jelasnya.
Didik memahami KPK tidak pernah berhenti untuk terus menjerat koruptor. Pada faktanya laju korupsi juga tidak semakin berhenti, justru trend belakangan ini banyak juga pejabat daerah yang terkena OTT. Sebab itu, dia mendorong setiap aparat penegak hukum untuk memperkuat sistem anti korupsi melalui sistem dan kinerja mereka, termasuk yang dilakukan Polri.
“Namun pembangunan sistem tersebut harus dipastikan tidak boleh tumpang tindih dan bertabrakan dengan institusi penegak hukum lainnya,” ujarnya.
Harus Ada Ide Baru
Menurut Didik, ‎apabila Polri ingin membentuk Densus Tipikor, harus juga membawa ide baru yang segar yang berlainan dengan yang dilakukan oleh penegak hukum lainnya termasuk KPK. “Mestinya dengan ide baru yang lebih segar, lebih ditujukan untuk melakukan pemberantasan korupsi yang efektif dan jauh dari mobilisasi dukungan opini serta mengedepankan HAM,” katanya.
Dia menambahkan, ‎Polri juga harus mampu dan lebih jitu dalam melahirkan konsep dan cara baru, karena pemberantasan korupsi yang konvensional selama ini belum juga mampu menghadirkan tata kelola pemerintahan dan keuangan yang bebas korupsi. “Potensi Lost keuangan negara terus terjadi yang di korupsi sangat sedikit bisa kembali. Untuk itu mencegah potensi lost dan hilangnya keuangan negara menjadi mutlak,” pungkasnya.